Sekretaris Menteri Politik dan Kajian Aksi Strategis DEMA UIN Imam Bonjol Padang
Kampus Seharusnya Jadi Ruang Aman, Bukan Arena Kekerasan
Setiap tahunnya, ribuan mahasiswa baru melangkahkan kaki ke lingkungan kampus dengan semangat, harapan, dan cita-cita. Mereka datang untuk belajar, berpikir kritis, dan tumbuh sebagai manusia merdeka. Namun sayangnya, sebagian dari mereka justru disambut oleh budaya yang mencederai nilai-nilai pendidikan: perpeloncoan yang dibungkus dalam nama “perkaderan”.
Di berbagai kampus, terutama pada lingkup Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), praktik kekerasan simbolik hingga fisik terhadap mahasiswa baru masih terus terjadi. Bentakan, penghinaan, hukuman tidak manusiawi, bahkan skenario “prank” yang menjurus pada pelecehan mental menjadi hal yang “lumrah” dalam beberapa kegiatan kaderisasi.
Dalih yang digunakan pun masih sama dari tahun ke tahun: "ini demi solidaritas", "untuk melatih mental", atau “agar kalian tidak manja”. Tapi benarkah kekerasan adalah satu-satunya cara menumbuhkan jiwa kepemimpinan dan rasa kebersamaan?
Warisan Kolonial yang Masih Dipelihara
Ironisnya, praktik ini bukan tradisi luhur mahasiswa—melainkan warisan kolonial. Pada masa penjajahan Belanda, mahasiswa pribumi di sekolah-sekolah tinggi seperti STOVIA dikenai praktik bernama ontgroening, atau “penghilangan warna hijau”—sebuah simbol bahwa mahasiswa baru dianggap belum dewasa dan harus “dibentuk” secara keras.
Istilah “perpeloncoan” sendiri muncul di masa pendudukan Jepang, dari kata Jawa pelonco yang berarti kepala gundul—melambangkan status “rendahan” dari seorang pemula. Bentuk-bentuk kekerasan verbal, fisik, dan psikologis mulai mengakar sebagai “ritus” masuk kampus dan terus berkembang dengan nama-nama baru: OSPEK, Diklatsar, Follow-Up, hingga Masa Pengenalan Lingkungan.
Di balik pergantian nama yang seolah menunjukkan perbaikan, semangat kolonialisme dan feodalisme tetap hidup: yang tua menindas yang muda, yang kuat berhak mempermalukan yang lemah.
Kisah Lama yang Masih Terulang
Apa yang dialami Soe Hok Gie di tahun 1961, ternyata tidak berbeda jauh dari apa yang dialami mahasiswa baru saat ini.
“Ketika baru diplonco kami dibentak-bentak, ditendang tas kami, dan dimaki-maki,” tulis Gie dalam Catatan Seorang Demonstran.
Ia menyaksikan sendiri bagaimana rekan-rekannya diperlakukan seperti binatang. Umpatan seperti “jelek lu”, “gigi lu kuning”, hingga “muka lu lihat dulu” dilontarkan oleh senior sebagai bentuk “pembinaan”.
Kini, lebih dari 60 tahun kemudian, bentuknya masih sama—hanya kemasannya yang berubah. Mahasiswa baru disuruh menyandang sepatu di leher, duduk di lumpur, berlari sambil dibentak, sepatunya disembunyikan lalu dipaksa mencari, bahkan dibuat menangis karena skenario kekerasan yang disengaja.
Semua ini dilakukan dengan satu alasan: “demi proses kaderisasi”.
Kaderisasi Bukan Kekerasan
Kekerasan yang dilembagakan ini tidak menciptakan solidaritas, melainkan ketakutan. Tidak membentuk pemimpin, melainkan pecundang yang dendam. Tidak melahirkan inovasi, melainkan kultur senioritas yang membungkam.
Banyak mahasiswa baru akhirnya trauma dan memilih menjauh dari kegiatan organisasi. Mereka kehilangan ruang aman, kehilangan kepercayaan, dan bahkan kehilangan potensi. Dalam beberapa kasus ekstrem, praktik perpeloncoan bahkan menelan korban jiwa.
Apakah ini harga yang layak dibayar untuk “solidaritas”?
Sudah saatnya kita mengakui bahwa pola perkaderan semi-militer, bernuansa kepramukaan, atau adu ketahanan fisik tidak lagi relevan. Tidak semua mahasiswa baru memiliki kondisi fisik dan mental yang sama. Universitas bukan tempat seleksi alam; ini adalah tempat belajar dan bertumbuh.
Senior Harus Jadi Teladan, Bukan Penguasa
Alih-alih jadi momok, senior seharusnya menjadi teladan. Menjadi inspirasi karena prestasi dan kontribusi, bukan karena kuasa dan bentakan. Jika perkaderan dijalankan dengan cara intimidatif, maka yang tumbuh bukanlah solidaritas, tapi budaya feodal yang terus-menerus diwariskan.
Kebiasaan gila hormat, harus disapa, harus tunduk, adalah pola pikir usang yang tidak punya tempat di era digital dan kebebasan berpikir saat ini. Budaya senioritas yang menjadikan mahasiswa baru sebagai “target” adalah bentuk kegagalan pendidikan karakter.
Perlu diingat: mahasiswa kuliah bukan untuk dijadikan bawahan oleh senior, melainkan untuk menjadi manusia yang merdeka dan berpikir mandiri.
Saatnya Revolusi Kaderisasi: Humanis, Kritis, dan Progresif
Revolusi sistem kaderisasi di lingkungan organisasi mahasiswa (ormawa) adalah kebutuhan mendesak. Tidak cukup hanya mengganti nama kegiatan atau membuat peraturan formal, tetapi harus ada perubahan paradigma: dari kekerasan ke pembinaan, dari otoriter ke dialogis, dari senioritas ke keteladanan.
Universitas, pimpinan ormawa, dan seluruh elemen kampus harus berani bersikap tegas. Tidak ada toleransi untuk kekerasan dalam bentuk apa pun, apalagi yang disamarkan sebagai “proses pengkaderan”.
Kaderisasi haruslah humanis, memerdekakan, dan mendukung kreativitas. Hanya dengan cara itu, kita bisa melahirkan insan akademis yang tidak hanya cerdas, tapi juga kritis, peka, dan peduli terhadap misi keumatan dan kebangsaan.
Penutup: Mari Bangun Budaya Organisasi yang Sehat
Kampus adalah tempat untuk tumbuh, bukan tempat untuk dibungkam. Mahasiswa adalah agen perubahan, bukan objek pelecehan. Dan organisasi mahasiswa seharusnya menjadi ruang pembinaan, bukan arena kekuasaan.
Jika kita ingin melihat generasi muda yang berani, berpikir bebas, dan mampu membawa perubahan, maka semua itu harus dimulai dari lingkungan yang mendukung mereka untuk menjadi versi terbaik dirinya—bukan menakut-nakuti mereka agar patuh.
Sudah 2025. Mari tinggalkan cara-cara primitif. Revolusi budaya organisasi mahasiswa harus dimulai sekarang juga.
Catatan Editor:
Tulisan ini merupakan opini penulis. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak selalu mencerminkan posisi redaksi.

0 Komentar